Selasa, 15 September 2009

Agar Gula Darah Tetap Rendah

Widi Hidayat, 30 tahun, 10 tahun silam didiagnosis menderita diabetes melitus tipe 1. Sel beta pankreasnya diketahui tidak bisa menghasilkan insulin. Gula darahnya ada di kisaran 500 mg/dL hingga 600 mg/dL. Waktu itu berat badan pria berambut mowhak ini merosot dari 70 kilogram menjadi 50 kilogram. Gejala khasnya berupa rasa haus yang tidak kunjung hilang dan nafsu makan yang begitu besar. Dokter yang menangani Widi menyarankan untuk melakukan injeksi insulin. Dari situ berat badan karyawan Bank Jabar cabang Sumedang ini naik menjadi 60 kilogram di tiga tahun pertama pemakaian insulin.

Ketua Divisi Metabolik dan Endokrin, Departemen Penyakit Dalam, FKUI/RSCM, Profesor Dr dr Sidartawan Soegondo SpPD-KEMD, mengatakan sel beta pankreas pada penderita diabetes melitus tipe 1 memang tidak bekerja sehingga tubuh kekurangan insulin dan harus disuntik. Penyebabnya adalah antibodi yang merusak sel beta itu sendiri. Nah, reaksi antibodi itu bisa diakibatkan oleh serangan virus ataupun genetik. "Meski terjadinya tidak secara langsung," ujar Sidartawan seusai diskusi mengenai diabetes di Restoran Backstage, Taman Impian Jaya Ancol, beberapa waktu lalu.

Berbeda dengan tipe 1, penderita diabetes melitus tipe 2 sebenarnya mampu menghasilkan insulin, cuma tidak optimal. Malah pada banyak kasus pankreas pada diabetes tipe 2 menghasilkan insulin di atas normal. Dalam beberapa literatur diketahui bahwa dari semua penderita diabetes, hampir di atas 90 persen adalah penderita diabetes tipe 2. Mereka banyak berasal dari usia produktif. Sekitar usia 45 sampai 65 tahun. Angka kejadian meningkat bersama meningkatnya usia--meski tetap dijumpai ada pada usia belasan. Yang jelas, Sidartawan menegaskan, penyakit ini tidak bisa disembuhkan, tetapi bisa dikontrol dengan mengatur kadar gula dalam darah.

Panduan Federasi Diabetes Internasional (IDF) tentang pengelolaan gula darah sesudah makan merekomendasi pasien diabetes untuk menjaga kadar gulanya tidak lebih dari 140 mg/dL pada dua jam sesudah makan. Patokan ini dipublikasi pertama kali pada September 2007 di Amsterdam, Belanda. Rekomendasi ini lebih kecil dibanding patokan sebelumnya, yang di batas 200 mg/dL. Panduan IDF ini menekankan pentingnya menjaga gula darah sesudah makan agar terhindar dari risiko komplikasi diabetes.

Hal ini sekaligus mengubah paradigma lama dalam pengelolaan diabetes yang lebih berfokus pada pengendalian gula darah sebelum makan. Pada kenyataannya, mayoritas penderita diabetes menganggap naiknya gula darah sesudah makan merupakan hal yang lumrah. Sekalipun angkanya melewati batas normal. Hasil riset, pria kelahiran 14 Agustus ini memaparkan, sebanyak 84 persen penderita diabetes tipe 2 mengalami kenaikan gula darah sesudah makan di atas normal.

Diketahui, tingginya gula darah sesudah makan bakal memicu produksi radikal bebas dalam jumlah besar, di antaranya reactive oxygen species (ROS). Yang bisa menimbulkan oxidative stress. Pembentukan oxidative stress ini dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah yang merupakan tahapan awal dari kerusakan vaskuler. Menurut Sidartawan, komplikasi diabetes terjadi pada semua organ dalam tubuh yang dialiri pembuluh darah kecil dan besar dengan penyebab kematian 50 persen akibat penyakit jantung koroner dan 30 persen akibat gagal ginjal. "Selain kematian, DM juga menyebabkan kecatatan," ucapnya.

Lebih lanjut, pria kelahiran Amsterdam itu menyebutkan bahwa sebanyak 10 persen penderita diabetes harus menjalani amputasi tungkai kakinya. Hal itu menurut dia bisa karena adanya kelainan saraf otonom yang mengganggu produksi keringat sehingga kaki menjadi tidak berkeringat. Kaki menjadi tidak lembap dan kering. Hingga akhirnya menyebabkan kaki menjadi pecah-pecah.

Di saat yang sama, penderita diabetes kehilangan kemampuan merasakan sakit-saraf sensorik yang tidak bekerja. "Kaki dimasuki kotoran, daya tahan kurang, sarafnya tidak berasa. Menginjak paku, ya, jalan terus," Sidartawan bercerita. Nah, luka tersebut menjadi awal terjadi infeksi, yang kemudian memasuki jaringan lebih dalam kaki sehingga membutuhkan tindakan amputasi sebagai jalan keluar.

Melihat bahayanya komplikasi itu, diperlukan kontrol gula darah secara mandiri dari si penderita. Bisa dengan menggunakan alat monitor gula darah sebagai metode untuk mengetahui level gula darah mereka. Tentunya dikombinasi dengan penerapan gaya hidup sehat dan rajin konsultasi dengan dokter. Pemantauan gula darah ini dinilai akan mendidik pasien mengatur sendiri pola makannya dan memancing mereka melakukan aktivitas positif demi nilai gula darahnya.

Hal itu sejalan dengan hasil studi yang dilakukan Dr Ane C. Dale dari Universitas Ilmu dan Teknologi Norwegia di Trondheim belum lama ini. Dale dan timnya mendapati risiko kematian akibat serangan jantung empat kali lebih besar pada peserta yang jarang mengecek gula darah ketimbang grup lain yang mengontrol kadar gula darah secara teratur. "Kontrol gula yang baik mengurangi risiko komplikasi koroner pada pasien dengan diabetes," Dale dan timnya menyimpulkan, seperti dikutip Reuter.

Sidartawan dalam presentasinya menyebut, pasien diabetes di Sulawesi Barat mencapai 17 persen sedang Papua Barat mencapai 21 persen dari jumlah populasi penduduknya. "Diperkirakan pada 2025 ada sekitar 333 juta orang menderita diabetes," katanya.


Mengontrol gula darah:
1. Kendalikan berat badan
2. Kurangi konsumsi cemilan dan minuman kaya gula
3. Kurangi asupan karbohidrat
4. Konsumsi banyak sayur dan buah
5. Beraktivitas fisik secara reguler
6. Cek kadar gula secara rutin
7. Konsisten patuhi saran dokter

- 21 Juli 2009

Sumber :
HERU TRIYONO
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/07/21/brk,20090721-188151,id.html
17 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar